Tapi waktu itu jujur saja saya nggak ngebet banget nonton Stranger Things. Habis genrenya horror sih, saya jadi parno duluan. Malas saja rasanya menghabiskan waktu dibikin takut dan ujungnya susah tidur. Mendingan dibikin mewek sesenggukan gara-gara nonton This Is Us kalau menurut saya mah.
Tapi belakangan setelah musim 1 kelar tayang, semakin saya sering nemu artikel yang muji-muji Stranger Things, yang bilang kalau serialnya seru, pada kangen sama geng dedek-dedek Mike, Dustin, dkk, sampai yang bilang kalau scoring musik Stranger Things oke banget dan masuk nominasi Grammy. Apalagi akhir bulan Oktober kemarin Stranger Things musim 2 dirilis. Hip-nya serial ini semakin terasa, dan saya pun semakin penasaran juga jadinya.
Akhirnya saya nonton musim 1 karena kadung penasaran. Nggak berekspektasi banyak sih, ehhh ternyata di luar perkiraan, saya suka Stranger Things!
Lho kok bisa?
Bisa, karena, pertama (dan ini paling penting) Stranger Things tidak seseram yang saya kira. Horornya ternyata horor monster, menurut saya masih tolerable ketimbang film hantu-hantu biasa atau thriller psikopat. Bisa dibilang seperti nonton E.T. tapi versi nggak 'unyu', kompleks dan lebih tegangnya. Pun ketegangan di Stranger Things levelnya pas, nggak bikin stres tapi cukup untuk seru-seruan dan mancing rasa penasaran. Nontonnya deg-degan sih tapi masih bisa menguatkan diri lah.
Kedua, karakter geng dedek-dedek dalam serial ini memang gemesin banget. Sekumpulan nerd cilik yang cupu dan kerap di-bully tapi berani melawan dan membela diri juga kalau memang sudah kelewat parah. Ada juga karakter guru di sekolah dedek-dedek ini yang 'manis' sekali, berdedikasi dan selalu memotivasi rasa keinginantahuan murid-muridnya. Intinya beberapa bagian dari serial ini membuat kita merasa bahwa jadi nerd atau freak itu nggak berarti buruk. Nggak punya banyak teman memang, tapi toh apa gunanya punya teman banyak kalau kita nggak bisa jadi apa yang kita mau waktu bareng mereka? Enakan juga punya teman sedikit, walaupun nggak bisa mendongkrak popularitas tapi bisa nyaman jadi cupu bareng-bareng.
Ketiga, serial yang mengambil latar waktu era 80-an ini bikin era itu terlihat 'lucu' dan agak keren, beda dengan gambaran era 80-an yang saya tonton di film macam Pretty in Pink atau The Breakfast Club yang beberapa bagiannya bikin saya mbatin "ih jaman segitu norak banget sih." Well bisa jadi saya nonton film yang salah sih, tapi terlepas dari itu saya tetap merasa penggambaran era 80-an di Stranger Things 'lucu'.
Bocah-bocah pergi ke sekolah dan main malam-malam pakai sepeda yang ada lampunya, Atari, arcade games, kliping, juga scoring musik yang terasa 80-an sekali tapi 'lucu', bukan asal elektronik disko-disko aerobik nggak jelas gitu. Oh ya, hampir lupa, di serial ini juga ada satu lagu The Clash yang kok jadi pas banget gitu sama jalan cerita. Lucu deh.
Keempat, nggak monoton dan bikin ketagihan banget. Rasanya ini patokan gampang untuk bilang sebuah serial bagus atau enggak. Walaupun durasinya panjang, alurnya nggak lambat dan selalu menyisakan misteri untuk ditonton di episode berikutnya. Durasi per episode serial ini hampir satu jam tapi rasanya seperti 30 menit kurang dikit.
Kelima, nggak full horror tapi, masih ada unsur drama walaupun sedikit. Intinya nonton serial ini nggak melulu tegang, jadi saya masih bisa bertahan nonton sampai akhir musim 1 dan sekarang mulai nonton musim 2. Ada konflik keluarga, pertemanan, cinta-cintaan, krisis identitas masa muda, dedikasi sama profesi, anxiety problem, trauma. Pokoknya ada nilai lain yang bisa diambil selain ketakutan.
Keenam, ada playlist Spotify-nya. Hehehe yang ini nggak penting-penting amat sih. Tapi lucu aja waktu Netflix kerja sama dengan Spotify menyediakan playlist lagu untuk masing-masing karakter Stranger Things dan mendeteksi kecenderungan playlist kita lebih mirip tokoh yang mana.
Nah kira-kira itu deh poin yang oke-oke soal Stranger Things. Nggak okenya mungkin bagian cerita soal Nancy (kakak salah satu dedek, Mike). Personally saya nggak suka karena bagian cerita yang ini tipikal mbak-mbak pinter kesengsem mas-mas ganteng populer terus ga jadi dirinya sendiri dan ninggalin temen gitu deh. Sisanya sih oke dan gak ada yang sangat mengganggu buat saya. Eh tapi ulasan ini sebagian besar baru berdasar musim 1 saja ya, karena musim 2 baru rilis dan saya sedang 'otw' nonton. Nanti kalau sudah selesai dan sempat insyaallah diperbarui lagi reviewnya :)
Catatan:
Foto dalam unggahan ini diambil dari pinterest Sedona Baldwin dengan perubahan oleh Manzila